PSIKOLOGI LATIHAN DAN PSIKOLOGI OLAHRAGA
Thursday, August 15, 2013
0
komentar
Sekalipun Weinberg dan Gould
(1995) memberikan pandangan yang hampir serupa atas psikologi olahraga dan
psikologi latihan (exercise psychology), karena banyak kesamaan dalam
pendekatannya, beberapa peneliti lain (Anshel, 1997; Seraganian, 1993; Willis &
Campbell, 1992) secara lebih tegas membedakan psikologi olahraga dengan
psikologi latihan. Weinberg dan Gould, (1995) mengemukakan bahwa psikologi
olahraga dan psikologi latihan memiliki dua tujuan dasar:
mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi performance fisik individu
memahami bagaimana partisipasi dalam olahraga dan latihan mempengaruhi perkembangan individu termasuk kesehatan dan kesejahteraan hidupnya
mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi performance fisik individu
memahami bagaimana partisipasi dalam olahraga dan latihan mempengaruhi perkembangan individu termasuk kesehatan dan kesejahteraan hidupnya
Di samping itu, mereka
mengemukakan bahwa psikologi olahraga secara spesifik diarahkan untuk:
membantu para professional dalam membantu atlet bintang mencapai prestasi puncak
membantu anak-anak, penderita cacat dan orang tua untuk bisa hidup lebih bugar
meneliti faktor psikologis dalam kegiatan latihan dan
memanfaatkan kegiatan latihan sebagai alat terapi, misalnya untuk terapi depressi (Weinberg & Gould, 1995).
membantu para professional dalam membantu atlet bintang mencapai prestasi puncak
membantu anak-anak, penderita cacat dan orang tua untuk bisa hidup lebih bugar
meneliti faktor psikologis dalam kegiatan latihan dan
memanfaatkan kegiatan latihan sebagai alat terapi, misalnya untuk terapi depressi (Weinberg & Gould, 1995).
Sekalipun belum begitu jelas
letak perbedaannya, Weiberg dan Gould (1995)telah berupaya untuk menjelaskan
bahwa psikologi olahraga tidak sama dengan psikologi latihan. Namun dalam prakteknya
biasanya memang terjadi saling mengisi, dan kaitan keduanya demikian eratnya
sehingga menjadi sulit untuk dipisahkan. Tetapi Seraganian (1993) serta Willis
dan Campbell (1992) secara lebih tegas mengemukakan bahwa secara tradisional
penelitian dan praktik psikologi olahraga diarahkan pada hubungan
psikofisiologis misalnya responsi somatik mempengaruhi kognisi, emosi dan
performance. Sedangkan psikologi latihan diarahkan pada aspek kognitif,
situasional dan psikofisiologis yang mempengaruhi perilaku pelakunya, bukan
mengkaji performance olahraga seorang atlet. Adapun topik dalam psikologi
latihan misalnya mencakup dampak aktivitas fisik terhadap emosi pelaku serta
kecenderungan (disposisi) psikologi, alasan untuk ikut serta atau menghentikan
kegiatan latihan olahraga, perubahan pribadi sebagai dampak perbaikan kondisi
tubuh atas hasil latihan olahraga dan lain sebagainya (Anshel, 1997).
Jelaslah kini bahwa psikologi
olahraga lebih diarahkan para kemampuan prestatif pelakunya yang bersifat
kompetitif; artinya, pelaku olahraga, khususnya atlet, mengarahkan kegiatannya
olahraganya untuk mencapai prestasi tertentu dalam berkompetisi, misalnya untuk
menang. Sedangkan psikologi laithan lebih terarah pada upaya membahas
masalah-masalah dampak aktivitas latihan olahraga terhadap kehidupan pribadi
pelakunya. Dengan kata lain, psikologi olahraga lebih terarah pada aspek sosial
dengan keberadaan lawan tanding, sedangkan psikologi latihan lebih terarah pada
aspek individual dalam upaya memperbaiki kesejahteraan psikofisik pelakunya.
Sekalipun demikian, kedua bidang
ini demikian sulit untuk dipisahkan, karena individu berada di dalam konteks
sosial dan sosial terbentuk karena adanya individu-individu. Di samping itu
kedua bidang ini melibatkan aspek psikofisik dengan aktivitas aktivitas yang
serupa, dan mungkin hanya berbeda intensitasnya saja karena adanya faktor
kompetisi dalam olahraga.
Sejarah Psikologi
Olahraga di Indonesia
Jadi, di satu pihak seorang
praktisi psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup
pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali
pendidikan khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih
terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan
sosial dalam bidang psikologi olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau
psikoterapis memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan; sehingga
sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan professinya dengan
mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan
keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya.
Dalam upaya mengatasi masalah
ini IPO sebagai asosiasi psikologi olahraga nasional tengah berupaya menyusun
ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu, IPO juga tengah
berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi para
psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi
olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi psikologi olahraga
yang meliputi: 1) Prinsip psikologi olahraga, 2) Peningkatan performance dalam
olahraga, 3) Psikologi olahraga terapan, 4) Psikologi senam.
Masalah lain yang juga kerapkali
timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga adalah dalam menentukan klien
utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog dapat seorang atlet,
pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan pelayanan utama
jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal psikolog
dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut
adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga
kerahasiaan atlet, di lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk
menjabarkan kepribadian atlet secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs
(1993) menawarkan berbagai kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian
tertulis untuk memberikan keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui
bahwa pribadinya akan dijadikan bahan pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung
akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk memperoleh informasi tentang
dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya, seorang psikolog harus dapat
bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian pula,
hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi
atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah
yang serupa.
Atlet, Pelatih, & Lingkungan
Atlet, pelatih dan lingkungan
merupakan tiga aspek yang berkaitan satu sama lain dalam membicarakan psikologi
olahraga dan psikologi senam. Istilah atlet tidak terbatas pada individu yang
berprofesi sebagai olahragawan, tetapi juga mencakup individu secara umum yang
melakukan kegiatan olahraga. Pelatih harus dibedakan dari sekedar instruktur,
karena pelatih tidak hanya mengajarkan atlet bagaimana melakukan
gerakan-gerakan olahraga tertentu, tetapi juga mendidik atlet untuk memberikan
respon yang tepat dalam bertingkah laku di dalam dan di luar gelanggang
olahraga. Lingkungan tidak terbatas pada lingkungan fisik semata-mata tetapi
juga lingkungan sosial masyarakat, termasuk di dalamnya lingkungan kehidupan
tempat atlet tinggal.
Atlet, pelatih dan lingkungan
adalah tiga aspek yang merupakan suatu kesatuan yang menentukan athletic
performance. Istilah atlethic performance agak sulit untuk diterjemahkan karena
merupakan suatu istilah spesifik yang tidak bisa disamakan artinya dengan
misalnya perilaku atletik.
Atlet
Seorang atlet adalah individu
yang memiliki keunikan tersendiri. Ia memiliki bakat tersendiri, pola perilaku
dan kepribadian tersendiri serta latar belakang kehidupan yang mempengaruhi
secara spesifik pada dirinya. Sekalipun dalam beberapa cabang olahraga atlet
harus melakukannya secara berkelompok atau beregu, pertimbangan bahwa seorang
atlet sebagai individu yang unik perlu tetap dijadikan landasan pemikiran.
Karena, misalnya di dalam olahraga beregu, kemampuan adaptif individu untuk
melakukan kerjasama kelompok sangat menentukan perannya kelak di dalam
kelompoknya.
Adalah sesuatui hal yang
mustahil untuk menyamaratakan kemampuan atlet satu dengan lainnya, karena
setiap individu memiliki bakat masing-masing. Bakat yang dimiliki atlet secara
individual ini lah yang sesungguhnya layak untuk memperoleh perhatian secara
khusus agar ia dapat memanfaatkan potensi-potensinya yang ada secara maksimum.
Namun demikian, keunikan
individu seorang atlet seringkali disalahartikan sebagai perilaku menyimpang
(Anshel, 1997). Sebagai contoh petenis John McEnroe menggunakan perilaku
marahnya untuk membangkitkan semangatnya. Namun bagi mereka yang tidak memahami
hal ini menganggap McEnroe memiliki kecenderungan pemarah. Masalahnya adalah
mungkin perilaku marahnya dapat mengganggu lawan tandingnya sehingga hal ini
dirasakan sebagai sesuatu yang kurang sportif untuk menjatuhkan mental lawan
tandingnya. Demikian pula Monica Seles sering ditegur karena lenguhannya yang
keras pada saat memukul bola, namun sesungguhnya hal ini merupakan keunikan
perilakunya, dan karena tidak adanya aturan khusus untuk melarang hal tersebut,
sebenarnya memang Seles tidak melakukan pelanggaran apapun. Adalah juga keliru
menganggap bahwa setiap atlet membutuhkan masukan dari pelatihnya pada saat
menjelang pertandingan. Karena ada atlet-atlet yang lebih cendeung memilih
untuk berada sendiri daripada ditemani oleh orang lain. Jadi, setiap atlet
memiliki ciri khas masing-masing, dan tidak bisa dilakukan penyamarataan dalam
melakukan pendekatan terhadap atlet. Hal-hal seperti inilah yang perlu difahami
oleh para pembina dalam membina para atletnya. Karena justru keunikan merekalah
yang membuat mereka mampu berprestasi puncak. Sedangkan mereka yang tergolong
"normal" memang hanya memiliki prestasi normal-normal (biasa-biasa)
saja.
Pelatih
Pelatih, seperti telah
disinggung di atas, bukan sekedar instruktur olahraga yang memberitahukan atlet
cara-cara untuk melakukan gerakan tertentu dala olahraga. Pelatih juga
merupakan tokoh panutan, guru, pembimbing, pendidik, pemimpin, bahkan tak
jarang menjadi tokoh model bagi atletnya. Pelatih sendiri juga mungkin meniru
gaya pelatih lain atau pelatih senior yang melatih dirinya. Ada pepatah asing
yang mengatakan "monkey see, monkey do", artinya apa yang dilihat,
itulah yang dikerjakan.
sumber: iqbhalgreby.blogspot.com/2010/10/psikologi-olahraga.html
Silahkan di Like Fans Page dan Grub di Bawah Ini agar selalu mendapat artikel setiap kami memposting di blog ini:Olahraga, Pendidikan, Bisnis (grup)
Toko Buku On Line (Grub)
Toko Buku Online
Olahraga | Pendidikan | Bisnis
Artikel
terkait :
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul:
Ditulis oleh Berman HS
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://simbolonbermanhot.blogspot.com/2013/08/psikologi-olahraga-psikologi-latihan.html?m=0. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.PSIKOLOGI LATIHAN DAN PSIKOLOGI OLAHRAGA
Ditulis oleh Berman HS
Rating Blog 5 dari 5